Sabtu, 20 April 2013

PELAYANAN DIAKONIA



MAKALAH
DIAKONIA TRANSFORMATIF
(Oleh: Teropina.Y.Puhili)
I.              PENGANTAR.
Nama dan profil (visi-misi) gereja secara singkat.
a.         Nama Gereja.
Nama gereja kami adalah Gereja Kristen Injili di Tanah Papua.  Dan nama jemaat yang saya layani adalah jemaat Ebenhaezer Ridge di Biak. Gereja Kristen Injili lahir dari sebuah pergumulan yang panjang sesudah mengalami perjuangan yang cukup berat dalam suka dan duka sekarang memasuki usianya yang ke 36.  Sejak GKI mandiri pada tahun 1956 sampai sekarang memiliki kurang lebih 1300   jemaat dengan 46 klasis.
Jemaat Ebenhaezer Ridge Biak juga termasuk salah satu dari sekian banyak jemaat dalam perkembangan dan pertumbuhan Gereja Kristen Injili di Tanah Papua. Nama Ebenhaezer artinya sampai di sini Tuhan menolong kita( I Samuel 7:12 ). Dengan pengertian nama ini, bukan berarti bahwa dalam perkembangan pertumbuhan pelayanannya jemaat sudah tidak lagi mengharapkan pertolongan Tuhan, tidak. Tetapi dengan adanya nama ini berarti, jemaat Ebenhaezer masih tetap terus sampai kapanpun membutuhkan pertolongan Allah.
Jemaat Ebenhaezer Ridge Biak merupakan salah satu jemaat kotawi. Dari sisi pelayanannya, jemaat Ebenhaezer memiliki Sembilan kelompok pelayanan. Dari Sembilan kelompok pelayanan dibagi lagi dalam dua sampai empat wyk yang terdiri dari 15 sampai 20 kepala keluarga.  Jumlah jiwa secara keseluruhan belum terdata secara baik dikendalakan oleh warga jemaat tidak menetap sering berpindah-pindah.
Dalam pelaksanaan program-programnya secara umum GKI DI TANAH PAPUA melalui jemaat-jemaat se-Papua melaksanakan pelayanannya melalui  program urusan yaitu: urusan umum, urusan pekabaran injil, urusan pembinaan jemaat, urusan diakonia dan urusan ekubang. Kelima urusan ini yang nanti penjabarannya dilakukan sesuai dengan kebutuhan pelayanan di jemaat, klasis dan sinode. Jemaat GKI Ebenhaezer ridge biak dalam melaksanakan pelayanannya,yaitu dalam meningkatkan persekutan, kesaksian dan pelayanan kepada Tuhan dan jemaatNya, sebagai organisasi gereja dilayani oleh : 1 orang pendeta, 1 orang guru agama dan 76 majelis jemaat. Dalam tugas pelayanan di jemaat Ebenhaezer juga terdapat hubungan kerja melalui garis komando yaitu: unsur-unsur jemaat ( PKB, PW, PAM dan PAR ). Yang dalam pelaksanaan program melaksanakan tiga bidang kerja yaitu bidang teologi, daya dan dana, khusus dalam meningkatkan pelayanan mereka.
b.         Visi dan Misi GKI
Sebagai gereja,  GKI Di Tanah Papua telah meletakkan tujuan dan cita-cita yaitu jemaat-jemaat yang missioner. Dengan Misinya, yaitu: Menghadirkan Tanda-tanda Kerajaan Allah.  Melalui visi dan misi ini menjadi ukuran bagi jemaat untuk bersama membangun gerejanya hingga mencapai kesatuan penuh menurut kasih karunia Allah. Ada tiga bidang pelayanan yang dilakukan melalui jemaat yaitu teologia, daya dan dana. Tiga bidang ini dapat dikatakan sebagai motor penggerak bagi jemaaat demi tercapainya cita-cita itu.
c.         Informasi pelayanan Diakonia yang telah dilakukan.
Program diakonia merupakan salah satu  tugas yang  sudah dilakukan ditengah-tengah jemaat-jemaat GKI DI Tanah Papua, termasuk jemaat GKI Ebenhaezer ridge Biak. Di jemaat ini pelayanan Diakonia merupakan program penting yang dilakukan pada enam bulan pertama tapi juga pada setiap akhir tahun pelayanan dibulan desember. Pelayanan Diakonia yang dilakukan di jemaat kami yaitu : diakonia untuk janda, anak kurang mampu, bantuan pendidikan, bantuan panti bina netra, bantuan orang sakit, dan bantuan warga  yang datang dari tempat jauh karena tidak mempunyai biaya taxi/kapal. Pelayanan diakonia ini juga di programkan dalam pelayanan unsur-unsur jemaat dan juga dikembangkan melalui jemaat di setiap kelompok pelayanan (9 wyk di jemaat). Pelayankan Diakonia ini dilakukan oleh urusan Diakonia, yang ada dalam jemaat dan unsur-unsur jemaat. Unuk pemberian diakonia ini diprogramkan hanya untuk satu pelayanan kepada warga jemaat kemudian bergilir kepada warga jemaat yang lain. Sedangkan untuk panti bina netra setiap tahun dianggarkan.

d.         Perbedaan Mendasar dari Program Diakonia yang sudah dilakukan dengan yang diuraikan.
Dengan melihat kepada program diakonia yang telah dilakukan, nampaknya terlalu banyak perbedaan. Tidak satu program yang penanganannya dilakukan dengan serius. Ternyata program hanya dilakukan dengan di dukung oleh pemberian persembahan syukur pada ibadah minggu dan ibadah-ibadah lainnya, yang pada kenyataannya pemberian itu tidak cukup untuk membiayaai hidup mereka.
Dengan melihat kepada kondisi ini, maka dalam uraian dibawa ini, akan saya coba mengulas sedikit tentang salah satu bentuk pelayanan diakonia kepada janda. Sebab janda juga mempunyai peran penting dalam pelayanan berjemaat. Memperhatikan para janda adalah merupakan tugas yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap orang. Dengan demikian melalui paper ini, saya hanya akan membahas tentang pelayanan diakonia kepada para janda. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jemaat kami masa sekali belum melaksanakan nilai diakonia yang sebenarnya dan model diakonia yang dilakukan masih bersifat karitatif. Yaitu model diakonia yang sifatnya memberi saja tanpa menujukkan suatu pemberdayaan terhadap anggota PW (janda) untuk bagaimana membangun dirinya tanpa harus selalu berharap pada pemberian orang lain. Atau terlalu berharap kepada diakonia jemaat atau PW.

II.              PEMETAAN MASALAH.
Berkaitan dengan konteks diakonia diatas, sangat karitatif sekali dan sama sekali tidak memberdayakan. Untuk itu perlu juga dituliskan bahwa pemberian diakonia untuk para janda di jemaat haruslah ada terjadi perubaha bagi para janda, sehingga tidak ada unsur ketergantungan yang nampak dari para janda itu sendiri.
Hal memberi  kepada Allah melalui pemberian diakonia merupakan suatu bentuk pemberian yang patut dipandang penting bagi semua orang percaya. Bila kaum muslim bisa bersedekah kepada fakir miskin atau yang disebut kaum duwafa lalu mengapa kita orang Kristen tidak bisa malakukan hal yang sama? Bukan Yesus mengajarkan kita untuk melalukan hal itu.  Seharusnya ada tumbuh suatu pemahaman iman yang dilandasi Kasih dan tekat yang utuh dalam dada kita bahwa masih banyak orang disekitar kita yang hidup dalam kekuarangan. Siapa yang dapat menolong mereka dengan kekurangan atau pergumulan tertentu mereka? Apakah ia bisa terbuka mengatakan, bahwa ia tidak punya makan, saya lapar, bisakah anda menolong saya? Manusia sering tidak bisa terbuka menyampaikan kekurangannya. Demikian hidup para janda, mereka terkurung dalam suatu kehidupan yang sarat dengan pertanyaan dan sindiran. Kekurangan ekonomi, seperti; sandang, pangan dan papan dan masih banyak lagi yang tidak disebutkan. Bisa terjadi membuat mereka menjadi tertutup dan hidup terasing dengan orang lain. Bila dia janda yang mampu sering menjadi sindiran dari masyarakat, menjadi cemooan para istri ketika bergaul diluar lingkungan, merasa minder bila berada di suatu perkumpulan, dalam status keberadaan hidup sehari-hari.  Situasi seperti ini, bisa berdampak dalam suatu persekutuan bergereja. Para janda akan memisahkan dirinya, karena merasa tidak dapat memberi suatu kontribusi yang bermakna bagi dirinya tapi juga bagi persekutuan dimana ia ada. Mereka akan bisa juga berpikir, “orang seperti kami bikin masalah saja lebih baik mundur”.  Dan ketika para janda mundur dari sebuah persekutuan, disini akan kelihatan ketidak hadiran mereka. Mereka menjadikan situasi mereka seperti orang asing yang tak dikenal, yang sebenarnnya harus dikenal. Gereja tidak bisa menutup mata dengan kondisi seperti ini, sebab para janda ini adalah bagian yang tak kalah penting juga dari sebuah kotbah yang indah serta kongkrit.  Benarlah apa yang tuliskan, Esaol Agustriawan: “Pelayanan diakonia adalah bagian tak tepisahkan dari pekabaran injil, dimana kehadiran Allah itu diwujudkan dalam pelayanan kongkrit, maka gereja perlu terus menerus belajar dan sadar akan konteks hidupnya”. Diakonia bukan hal yang baru, dia akan terus menerus dibicarakan dan dilakukan tanpa pamrih dan bertanggun jawab.

III.              ANALISA  SOSIAL.
Sebagaimana kita ketahui bersama  tentang janda yang hidupnya perlu ditolong karena kekurangan-kekurangan dalam kehidupan sehari-hari, seperti makan minum, pakai, kesehatan,perumahan,pendidikan anak-anak mereka dan sebagainya. Apalagi janda yang sama sekali tidak berpenghasilan, mereka pasti akan hidup dalam keterpurukan. Kondisi ini akan membuat para janda ini kehilangan status social mereka di tengah-tengah masyarakan secara umum dan gereja secara khusus. Dengan melihat kepada kondisi ini, maka sebenarnya pemerintah dan gereja seharusnya tidak memandang mereka dengan sebelah mata, walaupun ada bantuan-bantuan yang diberikan melalui RESPEK dan PNPN Mandiri dari pemerintah dan Bantuan Diakonia dari gereja. Masalah para Janda bukan hanya pada soal makan saja tetapi sangat banyak. Untuk itu, mereka perlu untuk di tolong atau ditunjang agar mereja (Janda) bisa mandiri. Ketika kita melihat mereka dari status hidup sebagai perempuan yang tidak bersuami, seakan-akan memberi kesan bahwa, seorang janda adalah pribadi yang lemah dan tidak dapat berbuat apa-apa. Seorang janda bisa menimbulkan ancaman terhadap kehidupan rumah tangga orang lain. Saat kehidupannya mulai terpuruk akan menimbulkan ancaman bagi dirinya dengan menjual diri sebagai wanita penjual sex, akibatnya ia mengindap penyakit HIV/AIDS.
Lain halnya dengan janda yang punya penghasilan, apalagi Janda yang benar-benar mengerti tentang status dirinya dan kehidupan yang akan dijalani bersama anak-anaknya, yaitu suatu kehidupan yang keras dan pasti penuh dengan perjuangan. Ia pasti sudah memikirkan tentang setiap resiko yang akan dijalani dan ditempuh dalam kehidupan. Masa depan keluarganya telah ia persiapkan dengan baik tetapi pada saat tertentu juga ia akan merasa jenuh karena harus melaksanakan dua tugas ganda, yaitu sebagai suami dan sekaligus sebagai istri. Dua tugas yang memang tidak ringan. Sebab kehidupan yang dijalaninya bukan kehidupan untuk satu minggu, satu bulan atau Satu tahun tetapi suatu kehidupan sampai Tuhan menentukan batas akhir dari hidup seseorang. Pertanyaannya, Apakah seorang janda akan mampu untuk menjalani kerasnya hidup ini? Hanya Tuhan saja yang peduli kepada mereka.
Dimana kepedulian kita sebagai sesama mahkluk yang sama-sama diciptakan oleh Tuhan sebagai mahkluk yang paling termulia dari ciptaan Tuhan yang lain? Para janda ini adalah bagian yang tidak akan pernah lepas dari kehidupan social secara kemasyarakatan dan juga gereja. Dengan demikian, maka gereja tidak dapat memisahkan dirinya sebagai wadah yang sepantasnya melindungi, memperhatikan, mengayomi para janda dalam menjalani hari-hari hidup mereka. Sekali lagi saya mau katakana, bahwa para Janda yang ada di sekitar kita adalah sasaran atau tujuan khotbah kita yang paling nyata dan kongkrit.
G. Riemer mengatakan dalam bukunya: Jemaat Yang Diakonal, hlm 129, Ibadah yang murni mencakup diakonia yang diawali dari jemaat sendiri selanjutnya ke luar jemaat sampai ke ujung bumi. Lanjutnya pada hal 127, dikatakan : “Gereja yang tidak diaconal adalah gereja yang mati;    mengabaikan karunia-karunia Allah dan belum sungguh-sungguh menghayati Kasih Kristus. Melihat kepada pikiran Riemer ini, saya berpikir bahwa kalau hanya ibadah toh yang berisi liturgi yang menarik dan khotbah yang berapi-api ya sama saja tidak punya arti atau tidak murni. Tetapi ketika pelayanan diakonia diberlakukan, maka di situ nampak ibadah yang murni. Tetapi ketika gereja tidak berdiakonia maka saat itu juga gereja, biarpun mega dan indah dengan majelis dan pendeta yang hebat sekalipun, ia akan tetap saja hampa atau kosong.
Diakonia adalah sebuah pelayanan yang sangat penting dalam setiap pelayanan bergereja. Bagaimana kita perhatikan Kasih Kristus dalam diri setiap orang percaya untuk mewujudkannya Kasih Kristus itu bagi semua orang. Sebagaimana Kasih Kristus diberikan untuk semua orang percaya(Kristen) melalui kesengsaraan, kematian dan kebangkitannya yang menang atas maut.
Janda ada pada pandangan mata kita sehari-hari, ia adalah teman kita, sahabat kita,keluarga kita dan saudara kandung kita. Tidaklah pantas bila kita mendiskriminasi mereka dengan gaya dan cara hidup kita yang tidak merangkul mereka. Dalam setiap tata hidup bermasyarakat dan bergereja, mereka juga harus hidup dalam suatu strata hidup yang sama dengan perempuan lain dalam masyarakat dimana janda itu hidup. Nilai-nilai etika moral yang tinggi juga ada pada mereka. Mereka juga adalah mahkluk social yang punya nilai atau harga dalam lingkungan bermasyarakat. Tetapi terkadang karena status mereka ini membuat para janda merasa risih dan tersisi dari lingkungan yang sebenarnya adalah bagiannya juga. Pola berpikir seperti ini tentunya tidak ada pada pandangan orang lain tetapi dirinya sendiri yang berpikir terlalu negative tentang dirinya sendiri. Saya punya contoh; ada seorang ibu di jemaat saya yang status keluarganya ia Janda. Ibu Sabinto(marga suami). Ia di tinggal mati oleh suaminya selama kurang lebih 19 tahun dengan 2 anak yang masih kecil. Ibu Sabinto menghidupi kedua anaknya dengan gaji pensiun suaminya hingga kedua anaknya, yang satu sudah berkuliah dan anak kedua akan mendengar hasil ujian di SMK di Ambon nanti. Ibu Janda Sabinto ini, selain menghidupi kedua anaknya dengan gaji suami tapi juga ia berusaha mencari uang dengan pekerjaan sambilan yaitu sebagai penjual prodak herbal. Ketika saya tanya” sudah cukup lama ibu menjanda, mengapa tidak cari suami lagi,”? katanya, ah bikin cape saja, hidup sendiri seperti ini sudah lebih baik jangan bikin susah lagi. Lebih lanjut ibu ini bercerita banyak bagaimana  hidup sebagai seorang janda, katanya “ saya pernah di telepon oleh istri-istri dari para langganan prodak, kata mereka awas ya kalau ganggu suami saya, kadang saya dimaki-maki dengan kata-kata yang tidak sopan bahkan ada juga laki-laki iseng yang menggoda saya de ngan rayuan-rayuan gombal mereka. Tapi saya memang tipe ibu yang juga suka berkelakar, ya saya balas juga dengan kelakar sampai mereka sendiri bosan. Saya bersyukur anak-anak saya sudah besar dalam tangan saya sendiri. Dan tak pernah saya lupakan Kasih dan kemurahan  Tuhan pada sepanjang jalan hidup saya ini. (Ibu Janda Sabinto, 14 Mei 2012).
Ada juga seorang mama janda yang adalah warga jemaat saya. Biasanya mama ini di sapa dengan nama Mama Manggaprow. Ia sudah lanjut usia dan ditinggal mati suaminya selama 5 tahun. Dengan meninggalkan 4 orang anak tapi semuanya sudah ber-rumah tangga dan punya anak masing-masing. Akan tetapi anak-anak dari mama ini, yaitu cucu-cucunya di rawat oleh mama manggaprow dengan gaji pensiun yang tidak seberapa itu. Ada yang sudah remaja di pelihara oleh mama ini. Bahkan sampai sekarang, mama Manggaprow masih sendiri memelihara cucu-cucunya dengan setia, walaupun hidup mereka serba kekurangan. Sampai pernah ada salah seorang cucunya yang meninggal akibat kangker tulang pada bekas patah kaki yang pernah di pasang pen, namun karena biaya untuk berobat pen yang pasang itu tidak pernah di lepas mengakibatkan kanker yang akhirnya membawa kepada kematian. Bahkan sampai pada pemakaman pun mama Manggaprow tidak mampu untuk menyediakan peti untuk meletakkan mayat cucunya. Saya sebagai pelayan jemaat berkoordinasi dengan warga jemaat yang punya jabatan untuk menolong membayar peti yang saya sudah pesan di meubel. Memang sangat memprihatinkan keadaan dari mama ini.  Dengan perhatian yang baik, mama Manggaprow ini adalah seorang janda yang rajin dan setia mengambil bangian pada ibadah. Baik ibadah minggu, ibadah unsure PW, dan ibadah keluarga serta kegiatan gereja lainnya.
Dengan melatarbelakangi dua konteks hidup janda yang berbeda ini, sungguh sangat menyedihkan.  Sering kita bertanya, siapakah yang akan menolong mereka? Maka Gereja sebagai wadah milik Tuhan harus menolong mereka sampai membuat mereka mampu mandiri di atas kaki mereka sendiri. Kondisi Janda seperti inilah yang bisa mendatangkan akar masalah dalam dunia para janda. Untuk itu setiap orang Kristen harus dapat menolong mereka bagaimanapun model atau cara yang sebijaksana mungkin, agar status hidup Janda diangkat dari pikiran-pikiran dan pendapat yang keliru serta negative dalam kehidupan masyarakat.
IV.              R E F L E K S I    T E O L O G I S
Mahatma Gandi, pernah mengungkapkan pernyataan yang sangat bermakna, yakni : “Engkau sendiri harus menjadi perubahan yang engkau ingin lihat di dalam dunia”. Yang menjadi pokok utama dari pernyataan Gandi ini adalah perubahan di dalam dunia, dan secara khusus tentu di dalam masyarakat. Tetapi yang menjadi intisari perubahan itu adalah diri sendiri. Kita menghendaki dan ingin melihat perubahan dalam masyarakat, tetapi kita sendiri harus mengalami perubahan yang kita kehendaki  itu. Tidak bisa terjadi, bahwa kita menghendaki perubahan, namun kita sendiri diluar perubahan itu. Pasti setiap janda menginginkan hidup yang bermakna dan bahagia, seperti orang lain disekitarnya. Walaupun tidak memiliki suami asal ia mampu untuk bisa hidup bersama anak-anak suaminya dan ingin mengalami perubahan. Namun apa daya yang akan diandalkan oleh seorang janda, apalagi hidup hanya bergantung kepada gaji pensiunan yang tentu sangat  kecil nilainya. Dengan konteks ini, saya melihat Mazmur 146:1-5, mengatakan: Berbahagialah orang yang mempunyai Allah Yakub sebagai penolong, yang harapannya pada Tuhan, Allahnya: Dia yang menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, yang tetap setia  untuk selama-lamanya, yang menegakkan keadilan untuk orang-orang yang diperas, yang memberi roti kepada orang-orang yang lapar. Tuhan membebaskan orang-orang yang terkurung, Tuhan membuka mata orang-orang yang buta, Tuhan menegakkan orang yang tertunduk, Tuhan mangasihi orang-orang banar, Tuhan menjaga orang-orang asing, anak yatim dan janda ditegakkannya kembali ….. tetapi jalan orang fasik dibengkokkan-Nya, Tuhan itu Raja untuk selama-lamanya, Allahmu, ya sion turun-temurun. Haleluya! Inilah bukti perhatian yang diberikan oleh Tuhan kepada umat-Nya. Sampai kepada anak yatim dan janda berada dalam perhatian Tuhan. Orang lain bisa melupakan para anak yatim dan janda tetapi Tuhan sama sekali tidak.  Walaupun Tuhan pernah berulang kali mengajar umat-Nya, agar mereka bersedia membagi kepada orang lain karunia dan berkat yang Ia berikan kepada anak yatim dan janda bahkan juga orang miskin. Apapun bentuk pelayanan kasih yang kita berikan kepada seorang janda itu baru sebagian dan tidak terlalu banyak yang pernah kita beri bagi mereka.
G. Riemer mengatakan,: Yesus berdiri di tengah masyarakat kongkret yang dirundung segala macam kekhawatiran dan kesusahan. Ia berdiri sebagai DIAKEN YANG BENAR melaksanakn tugas-Nya dengan penuh Kasih (Jemaat yang ber-Diakonia, hlm 67,2004). Betapa Yesus sangat peduli berdiri dan melihat setiap sisi-sisi manusia, baik yang kuat maupun yang lemah di posisi tertentu setiap manusia. Ini suatu kebanggaan yang tidak dimiliki siapapun. Terkecuali dimiliki oleh orang Kristen yang menaruh harapannya kepada Tuhan Yesus Kristus.   
V.              ANALISA  POTENSI  GEREJA.
Bila dilihat dari potensi gereja GKI Ebenhaezer Ridge Biak, adalah benar-benar jemaat yang mempunyai potensi yang sangat besar sekali, apalagi berkaitan dengan pelayanan Berdiakonia. Potensi yang dimaksudkan disini adalah, barkaitan dengan sumber pendapatan warga jemaat yang pada umumnya berpenghasilan tetap. Dalam arti bahwa warga jemaat Ebenhaezer ini tidak memiliki potensi tertentu untuk dijadikan sumber pendapatan tetap yang bisa digunakan untuk memperhatikan umat yang selama ini menjadi perhatian tetap dalam hal pemberian diakonia. Entahlah potensi yang dimaksudkan di sini, apakah menyangkut soal pemberian Diakonia melalui setiap ibadah atau melalui suatu usaha lain yang dijadikan sebagai sumber potensi jemaat yang nantinya rutin dikelolah menjadi pendapat jemaat. Dengan mendasari tulisan dari Bapak Saol mengatakan; ”Ketika gereja melakukan tindakan pelayanan atau Diakonia, janganlah mengharapkan sesuatu dari tindakan pelayanan atau Diakonia”. Dengan bertolak dari pandangan Bapak Saol menunjukkan, bahwa ketika gereja melakukan Diakonia berarti siapapun dia tidak diperkenankan untuk memperoleh sesuatu dari pelayanan itu. Dan seakan-akan Diakonia diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar  membutuhkan. Pikiran ini tidak terpengaruh kepada satu model Diakonia saja tetapi untuk semua model diakonia,yaitu Diakonia Karitatif, Diakonia Reformatif, dan Diakonia Transformatif.
Yang menjadi kekuatan di jemaat kami adalah jumlah jemaat yang banyak dengan didukung oleh suatu pelayanan yang teratur tentu akan menjadi kekuatan yang dapat di andalkan, Pertama. Kedua, kelemahan selalu akan ada, bilasebuah pelayan ber-diakonia tidak diatur dengan baik. Untuk itu maka semua bidang pelayanan perlu dukungan dan saling menunjang dalam memberikan sebuah pelayanan yang  maksimal. Seperti rencana dalam membiayai diakonia di programkan dalam jumlah angka yang besar dapat menimbulkan kelemahan yang bisa mengakibatkan terjadinya kemunduran dalam menyelesaikan maksud pelayanannya. Dan ini bahaya dan kelemahan yang besar karena termotifasi dengan dana yang besar. Sehingga ini menyebabkan orang hanya akan bergantung saja pada nilai uang yang akan membiayai program dikonia.  Ketiga, peluang. Dengan mengacuh pada kekuatan jemaat yang jumlah jiwanya banyak, maka peluang untuk mengubah keberadaan para janda di jemaat sangat besar. Dalam pengertian mereka dapat memperoleh perhatian yang baik, bila di tunjang oleh semua warga jemaat dan anggota PW secara partisipatif. Bahwa janda itu adalah bagian dari proses pekabaran injil,          maka warga jemaat juga mempunyai tanggung-jawab untuk mengunjungi, menopang, menyantuni janda dari kebutuhan yang di perlukan.  Ke-empat, ancaman.  Akan tetapi, apabila jumlah warga jemaat yang banyak ini tidak mendukung program untuk menopang, memelihara janda berarti sebuah ancaman. Untuk itu sangat perlu  diberikan pemahaman yang baik dan benar kepada warga dan anggota PW secara khusus tentang diakonia.


1 komentar:

  1. Coin Casino: The ultimate online gambling platform
    Coin Casino – 온카지노 the ultimate online gambling platform. Play 인카지노 casino games for real cash and win big on your favorite cryptocurrency.‎Coin Casino · ‎Casino Games · ‎Roulette · ‎Promotions deccasino

    BalasHapus